Yogyakarta - Perang besar di dunia tidak hanya terjadi di daratan Eropa saja sobat. Pada abad 19, berlangsung perang di jawa, antara 1825 hingga 1830. Untuk menumpas perang ini, sampai-sampai kas Pemerintah Hindia Belanda terkuras habis. Perang jawa merupakan pertempuran yang terjadi antara pasukan Beland di bawah pimpinan Jendral De Kock melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Diponegoro.
Pangeran Diponegoro adalah putra Sultan Hamengkubuwono III dari selir Raden Ayu Mengkarawati-putri Bupati Pacitan. Semenjak kecil, diasuh oleh neneknya, Ratu Ageng di Tegalrejo. Konflik Pangeran Diponegoro dengan
Pemerintah Hindia Belanda bermula pada Mei 1825, saat pemerintah kolonial berencana membangun jalan untuk melancarkan ssarana transportasi dan militer di Yogyakarta. Pembangunan tersebut akan menggusur banyak lahan, termasuk tanah milik keluarga besar Pangeran Diponegoro di Tegalrejo, di tanah leluhur tersebut terdapat makam nenek moyang Pangeran Diponegoro. Untuk menyelesaikan masalah tanah itu, sebenarnya Residen Belanda, A.H.Smisaertmengundang Pangeran Diponegoro untuk menemuinya. Namun undangan itu ditolak mentah-mentah olehnya.
Pemerintah Hindia Belanda bermula pada Mei 1825, saat pemerintah kolonial berencana membangun jalan untuk melancarkan ssarana transportasi dan militer di Yogyakarta. Pembangunan tersebut akan menggusur banyak lahan, termasuk tanah milik keluarga besar Pangeran Diponegoro di Tegalrejo, di tanah leluhur tersebut terdapat makam nenek moyang Pangeran Diponegoro. Untuk menyelesaikan masalah tanah itu, sebenarnya Residen Belanda, A.H.Smisaertmengundang Pangeran Diponegoro untuk menemuinya. Namun undangan itu ditolak mentah-mentah olehnya.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan pematokan di daerah yang dibuat jalan. Pematokan sepihak tersebut membuat Pangeran Diponegoro geram, lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mencabuti patok-patok itu. Melihat kelakuan Pangeran Diponegoro, Belanda mempunyai alasan untuk menangkap Diponegoro dan melakukan tindakan. Tentara meriam pun didatangkan ke kediaman Diponegoro di Tegalrejo. Pada tanggal 20 Juli 1825 perang Tegalrejo dikepung oleh serdadu Belanda.
Akibat serangan meriam, Pangeran Diponegoro besrta keluarganya terpaksa mengungsi karena ia belum mempersiapkan perang. Mereka pergi menyelamatkan diri menuju ke barat hingga ke Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, lalu meneruskan kearah selatan sampai keGoa Selarong. Goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul ini, kemudian dijadikan sebagai basis pasukan.
Kemudian, Pangeran Diponegoro menghimpun kekuatan. Ia mendapat banyak dukugan dari beberapa bangsawan Yogyakarta dan Jawa Tengah yang kecewa dengan Sultan maupun Belanda. Salah satu bangsawan pengikut Diponegoro adalah Sentot Prawirodirjo seorang panglima muda yang tangguh di medan tempur.
Awalnya pertempyran dilakukan terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri, dan artileri oleh Belanda. Pihak Diponegoropun menanggapi dan berlangsunglahpertempuran sengit di kedua belah pihak. Medan pertempuran terjadi di puluhan kota dan di desa di seluruh Jawa. Jalur-jalur logistik juga dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Belanda menyiapkan puluhan kilang mesiu yang dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Mesiu dan peluru terus diproduksi saat peperangan berlangsung. Selain itu Belanda juga mengarahkan mata-mata utuk mencari informasi guna menyusunn setrategi perang.
Selanjutnya Diponegoro beserta pengikutnya mengunakan strategi gerilya, yakni dengan cara berpencar, berpindah tempat lalu menyerang selagi musuh lengah. Setrategi ini sangat merepotkan tentara Belanda. Belum lagi Pangeran Diponegoro mendapat dukungan rakyat. Awlanya sendiri peperangan banyak terjadi di daerah barat kraton Yogyakarta sepertiKulonprogo, Bagelen, dan Lowano (Perbatasan Purworejo-Magelang). Perlawanan lalu berlanjut kedaerah lain: Gunung kidul, Madiun, Magetan, Kediri, dan sekitar Semarang.
Serangan-serangan besar dari pendukung Diponegoro biasanya dilakukan pada bulan-bulan penghujan karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan Belanda terhambat. Selain itu, penyakit malaria dan disentri turut melemahkan moral dan fisik pasukan Belanda.
Belanda kewalahan menhadapi perlawanan Diponegoro. Hingga akhirnya pada tahun 1827 pemerintah Hindia Belanda menerapkan setrategi jitu untuk mematahkan perlawanan gerilya ini. Belanda menerapakan setrategi Benteng Stelsel, benteng-benteng pertahanan dibangun dan dijaga terus-menerus setelah tentara Belanda berhasil menguasai daerah yang ditingalkan pasukan Diponegoro. Akibat Benteng Stelsel tersebut Pasukan Diponegorosemakin terjepit. Akhirnya pada tahun 1829, Kiai Maja, pimpinan sepiritual pemberontakan berhasil ditangkap. Kemudian panglima pernagnya satu-persatu menyerahkan diri termasuk Sentot Prawirodirjo.
Diponegoro sendiri akhirnya tertangkap di Magelang pada 25 Maret 1830. Penyergapan diponegoro terjadi saatia menerima tawaran perundingan dari Jendral De Kock. Rampung perundingan , diponegoro langsung diciduk lalu dibuang ke Sulawesi penangkapan ini menjadi akhir peranng jawa.
Namun bagi pemerintah belanda perang melawan Pangeran Diponegara merupakan pertempuran terberat selama menjajah nusantara. Dalam peranga ini banyak jatuh korban berjatuhan baik dari pihak Belanda maupun pribumi. Dokumen-dokumen Belanda menyebutkan ada sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terrenggut. Sementara itu ada 8000-an serdadu belanda tewas.
0 komentar:
Posting Komentar