Menjelang penutupan, Muhammad Yamin, yang saat itu berusia 25 tahun, mengedarkan secarik kertas kepada pimpinan rapat, Soegondo Djojopoespito, lalu diedarkan kepada para peserta rapat yang lain. Siapa sangka, dari tulisan tinta Yamin di secarik kertas itulah tercetus gagasan Sumpah Pemuda.
Sumpah itu lalu dibaca oleh oleh Soegondo, lalu Yamin memberi penjelasan panjang lebar tentang isi rumusannya itu. Pada awalnya, rumusan singkat Yamin itu dinamakan “ikrar pemuda”, lalu diubah oleh Yamin sendiri menjadi “Sumpah Pemuda”. Berikut isi Sumpah Pemuda itu:
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia
Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia
Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia
Kongres Pemuda II berlangsung pada 27-28 Oktober dalam tiga tahap rapat. Rapat pertama berlangsung di gedung Katholieke Jongelingen Bond di Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng), lalu dipindahkan ke Oost Java Bioscoop di Konigsplein Noord (sekarang Jalan Medan Merdeka Utara), dan kemudian Gedung Kramat 106 baru dipakai untuk rapat ketiga sekaligus penutupan rapat.
Dari rapat pertama hingga rapat ketiga, kongres pemuda II ini menghadirkan 15 pembicara, yang membahas berbagai tema. Diantara pembicara yang dikenal, antara lain: Soegondo Djojopespito, Muhammad Yamin, Siti Sundari, Poernomowoelan, Sarmidi Mangoensarkoro, dan Sunario.
Hadir pula banyak organisasi pemuda dan kepanduan saat itu, diantaranya: Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Roekoen, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll.
Sebelum kongres pemuda II, para pemuda sudah pernah menggelar kongres pertamanya pada tahun 1926. Tabrani Soerjowitjitro, salah satu tokoh penting dari kongres pertama, peserta kongres pertama sudah bersepakat menjadikan bahasa melayu sebagai bahasa persatuan. Akan tetapi, pada saat itu, Tabrani mengaku tidak setuju dengan gagsan Yamin tentang penggunaan bahasa melayu. Menurut Tabrani, kalau nusa itu bernama Indonesia, bangsa itu bernama Indonesia, maka bahasa itu harus disebut bahasa Indonesia dan bukan bahasa Melayu, walaupun unsur-unsurnya Melayu. Keputusan kongres pertama akhirnya menyatakan bahwa penetapan bahasa persatuan akan diputuskan di kongres kedua.
Seusai kongres pemuda ke-II, sikap pemerintah kolonial biasa saja. Bahkan, Van Der Plass, seorang pejabat kolonial untuk urusan negara jajahan, menganggap remeh kongres pemuda itu dan keputusan-keputusannya. Van Der Plass sendiri menertawakan keputusan kongres untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, mengingat bahwa sebagian pembicara dalam kongres itu justru menggunakan bahasa Belanda dan bahasa daerah. Soegondo sendiri, meskipun didaulat sebagai pimpinan sidang dan berusaha mempergunakan bahasa Indonesia, terlihat kesulitan berbahasa Indonesia dengan baik.
Siti Sundari, salah satu pembicara dalam kongres pemuda II itu, masih mempergunakan bahasa Belanda. Hanya saja, dua bulan kemudian, sebagaimana ditulis Dr Keith Foulcher, pengajar jurusan Indonesia di Universitas Sydney, Australia, Siti Sundari mulai menggunakan bahasa Indonesia.
Akan tetapi, apa yang diperkirakan oleh Van Der Plass sangatlah meleset. Sejarah telah membuktikan bahwa kongres itu telah menjadi “api” yang mencetuskan persatuan nasional bangsa Indonesia untuk melawan kolonialisme.
Padahal, sebagaimana dikatakan sejarahwan Asvi Warman Adam yang mengutip pernyataan Profesor Sartono Kartodirdjo, bahwa Manifesto Politik yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Indonesia di Belanda pada 1925 lebih fundamental daripada Sumpah Pemuda 1928. Manifesto Politik 1925 berisi prinsip perjuangan, yakni unity (persatuan), equality (kesetaraan), dan liberty (kemerdekaan). Adapun Sumpah Pemuda hanya menonjolkan persatuan-paling tidak demikianlah yang tertanam dalam memori kolektif masyarakat Indonesia selama ini melalui slogan “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa”.
Bung Karno sendiri menganggap Sumpah Pemuda 1928 bermakna revolusioner: satu negara kesatuan dari Sabang sampai Merauke, masyarakat adil dan makmur, dan persahabatan antarbangsa yang
abadi. “Jangan mewarisi abu Sumpah Pemuda, tapi warisilah api Sumpah Pemuda. Kalau sekadar mewarisi abu, saudara-saudara akan puas dengan Indonesia yang sekarang sudah satu bahasa, bangsa, dan tanah air. Tapi ini bukan tujuan akhir,” kata Soekarno dalam peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-35 di Istana Olahraga Senayan, Jakarta, 28 Oktober 1963.
0 komentar:
Posting Komentar